Sastra Bisa Bikin Kritis
Sastra memang takkan terlepas dari nuansa hidup. Apa dan bagaimana manusia bertingkah laku serta berpola pikir terpotret di dalamnya. Wiji Thukul, seorang pekerja sastra telah memotret kenyataan hidup yang terpinggir dalam perhelatan sastra pinggirnya. Berkenaan dengan hal tersebut, ia menuturkan kepada IDEAS di sela-sela acara seminar Peranan Negara dalam Perkembangan Sastra, di kampus Fakultas Sastra UNS, Surakarta.
Bagaimana Anda mengamati perkembangan sastra dewasa ini?
Perkembangan sastra yah baik-baik saja. Bahkan sekarang makin banyak orang bersastra, dari tukang becak sampai Presiden, yaitu tentang tabungan. Makin banyak orang terlibat kegiatan sastra dan mengungkapkan gagasan hal ini akan makin mempercepat proses demokratisasi. Walaupun kondisinya baik-baik saja, ada sastra tertentu dihambat kelangsungannya oleh pihak tertentu khususnya puisi protes.
Lalu bagaimana dengan puisi protes atau puisi kritik?
Saat ini puisi protes banyak dicekal karena puisi protes belum pernah dikaji secara ilmiah dan pihak pencekal menggunakan legitimasi kekuasaannya. Dan ada pula yang memberi cap bahwa puisi protes itu sastra masih “puber”, belum dewasa. Hal ini tidak bertanggung-jawab karena diekspos di media mass. Tidak benar itu bahwa puisi protes sastra merupakan sastra yang belum dewasa. Sastra merupakan alat untuk menyampaikan gagasan, sastra bukan tujuan dan ini yang dipungkiri oleh sebagian seniman kita.
Tentang seniman berkepribadian ganda atau seniman “split”….?
Mungkin bukan karena keinginan sendiri. Pertama, mungkin karena mengenal sastra cuma lewat koran atau mungkin karena dia berasal dari lingkungan seniman. Kedua, karena dia mau hidup dari seni sehingga dia harus kompromi dengan pihak-pihak tertentu dan sikap itu ada yang dilakukan secara sadar dan tidak.
Mungkinkah ini disebabkan juga oleh ketakutan mereka terhadap pihak-pihak tertentu untuk menciptakan puisi politis?
Itu jelas, dia takut menciptakan puisi politis. Hubungannya dengan Orba, di sini khan terjadi proses perubahan dan politik sebagai panglima menjadi pembangunan sebagai panglima. Nah…massa menjadi mengambang di sini. Puisi yang ada rata-rata bersifat apolitis, tak bersifat politis.
Turut campurnya pihak militer selama ini, sesuai pengalaman yang anda alami, apa bukan merupakan pemangkasan kreatifitas?
Itu benar, seniman menciptakan puisi protes tentu sadar bahwa yang akan dihadapinya nanti adalah pihak militer. Kita salut pada Pramoedya, dalam keadaan yang tertekan dia malah menciptakan karya yang hebat.
Bisakah latar belakang seseorang dikaitkan dengan hasil karyanya, kita ambil contoh Pram?
Kita mengenal Pram dari opini dan media massa yang sudah banyak terpengaruh oleh kalangan tertentu. Tidak pernah dibicarakan secara terbuka segala sesuatu tentangnya. Saya tidak menyatakan Pram itu benar atau salah, tapi harus obyektif.
Lalu dengan realisme sosialis yang dianut Pramoedya?
Itu hak dia, artinya dia mau menganut aliran apa itu terserah saja. Persoalannya, dengan menganut sebuah aliran apakah dia masih bisa kreatif?
Apakah intervensi militer terhadap kegiatan sastra itu masih dalam batas kewajaran?
Itu terlalu berlebihan, terhadap pementasan buruh saja harus diperlakukan demikian, bagaimana rakyat mau cerdas dan kritis kalau hal-hal semacam itu dilarang.
Aliran Anda dalam berkarya?
Saya tidak menginginkan masuk aliran mana, saya ingin menulis dan tidak kompromi, menulis dari apa yang saya lihat, rasakan dan alami.
Sebenarnya apa harapan Anda menciptakan puisi-puisi protes?
Yah..sebenarnya tidak berlebihan, ibarat orang ingin mandi bersih, harga beras murah, kalau rakyat bosan dengan parpol yang ada harus ada yang baru, atau mungkin dengan membentuk serikat buruh di luar SPSI, serta mahasiswa bebas berdiskusi.
Saat ini kita mengenal adanya angin “keterbukaan”, namun untuk pelaksanaannya cenderung tanpa kepastian, sebenarnya siapa yang membuka dan menutup angin “keterbukaan” itu?
Kalau penguasa memang konsekuen ingin membuka seluas-luasnya bagi gagasan yang tumbuh dari rakyat, semestinya mereka harus menerima kalau buruh mendirikan teater, mahasiswa membentuk Dewan Mahasiswa. Lalu keterbukaannya di mana kalau buruh-buruh ditangkapi karena mereka menuntut didirikannya serikat buruh yang independen. Jadi kalau dahulu yang kita sebut sebagai keterbukaan adalah bersifat pinjaman. Sedangkan keterbukaan sejati, saya pikir hanya bisa dibuka oleh kekuatan massa buruh, tani ataupun mahasiswa.
Kembali ke dunia sastra, bagaimana kepedulian pemerintah terhadap karya-karya sastra saat ini?
Tergantung pemerintahnya macam apa. Kalau di Malaysia sastra amat dihargai. Bila kita rasakan berarti mereka lebih beradab daripada kita. Tapi anehnya, karya-karya Pramoedya di sini dilarang, sedangkan di Malaysia jadi bacaan wajib anak-anak sekolah. Sebetulnya pemerintah tidak punya wawasan dan strategi. Mau dikemanakan rakyat ini. Mereka punya wawasan saya pikir harus kesempatan seluas-luasnya. Sehingga rakyat dapat mengungkapkan aspirasinya. Pemerintah yang demokratis harus begitu. Kalau rakyatnya cerdas pemerintah akan suka.
Bagi buruh apakah media sastra digunakan untuk mengembangkan sastra itu sendiri, atau ada sesuatu yang lebih ingin dicapai?
Sebetulnya sastra bagi kaum buruh bukan tujuan. Saya pikir sastra hanya bagian dari alat dalam memperjuangkan kondisi yang lebih baik. Namun, agak berlebihan bila kita mengharapkan sastra akan membawa perubahan sosial. Untuk mengadakan perubahan sosial ditentukan banyak faktor. Diantaranya sastra tapi bukan hanya sastra, juga partai politik, gerakan buruh, gerakan mahasiswa, dan sebagainya. Tapi semuanya itu saling terkait dan sama pentingnya.
Mengapa Anda sendiri juga menggunakan media sastra?
Saya pikir karena mampu melakukannya. Kalau orang lain mungkin akan bikin model lain. Bagi saya, selain sastra itu murah juga masih cukup efektif. Untuk sastra yang saya lakukan sifatnya sangat partisipatif. Misalnya, saya membuat lagu dimana lagu itu disediakan untuk pendengar dan mereka bisa ikut mengubah syairnya sesuai dengan keinginan masing-masing.
Apakah mungkin karena sastra mampu memberikan penyadaran?
Kesadaran itu merupakan proses. Artinya, bisa saja ketika orang menonton pementasan tentang buruh mereka sadar, tetapi saat kembali ke pabrik, mereka masuk lagi ke dalam sistem dimana mereka harus patuh pada sama majikannya, harus bayar iuran SPSI dan tidak boleh membuat organisasi. Cuma untuk terus menjaga kesadaran bukan hanya tontontan saja. Yang mereka butuhkan di sini adalah organisasi, karena dengan organisasi itu orang akan punya kekuatan. Dari banyaknya pemogokan, diantaranya buruh, justru menuntut SPSI dibubarkan dan mengeluhkan tidak berfungsinya SPSI. Dari situ bisa dilihat bagaimana SPSI itu. Kalau memang mereka mau memperjuangkan nasib buruh kenapa mereka justru menuntut SPSI dibubarkan dan menuntut dibentuk organisasi lain.
Karena sastra itu kreatif apa harapan Anda untuk para sastrawan?
Sastra itu bisa bikin kritis, bisa juga meninabobokkan. Jadi sejak dulu memang selalu banyak kubu dan itu wajar saja dalam setiap jaman ada yang pro-perubahan dan pro-kemapanan.
Sebagai pelaku sastra pinggiran apa pendapat Anda terhadap sastrawan yang lebih mapan?
Saya pikir gak penting itu. Tanggapan seperti itu tidak akan mempengaruhi proses kreatif saya. Saya nggak pernah menganggap hal itu perlu dibicarakan. Masih ada hal lain yang lebih penting.
Mengenai Pernyataan Mei tanggapan Anda bagaimana?
Saya hanya menginginkan agar kondisi berkesenian itu menjadi lebih baik, lebih demokratis, menentang sensor, pembredelan ya saya setuju saja dengan pandangan seperti itu.
(Tim Liputan IDEAS di Surakarta)
Catatan:
Wawancara ini dimuat dalam Tabloid Ideas, Fakultas Sastra, Universitas Jember Edisi II Tahun I/1996.
Sumber foto: https://independen.id/read/khusus/246/jejak-wiji-thukul-dalam-berita/
0 comments:
Posting Komentar