12 Februari 1998, di
tengah malam buta, dengan menumpang 2 mobil kijang, beberapa petugas mengaku
dari Polres Sragen mendatangi rumahnya di Kampung Gemolong. Kepada Suyadi dan
Suyatno, mereka menyatakan mencari Suyat…….
Setelah itu, ia bagai lenyap ditelan bumi. Bapaknya, Paimin
masih tak habis mengerti, masih kerap terhantui mimpi buruk itu, pun sampai
kini, setelah lebih 2 tahun berselang. Keluarganya masih menyimpan ngeri. Ia
tak cukup paham aktivitas Suyat. Setahunya, putra bungsunya yang lahir di Dusun
Banjarsari, Gemolong, Sragen pada 1 Oktober 1975 itu biasa-biasa saja. Meski
agak pemalu, ia cukup pintar bergaul; terbukti banyak kawan-kawannya. Suyat tak
pernah punya musuh. Sebagai satu-satunya pemuda dari kampungnya yang meneruskan
pendidikan sampai perguruan tinggi (FISIP UNISRI—Universitas Slamet Riyadi), ia
cukuplah menonjol.
Wajar, jika orangtuanya amat bangga dan menambatkan harapan
lebih padanya. Itu juga yang kerapkali melahirkan bimbang bagi Suyat pada awal-awal
perkenalannya dengan gerakan rakyat. Toh, pada akhirnya tertemui keyakinan itu.
Bagaimanapun, panggilan kerja bersama rakyat lebih bertalu di dadanya. “Prestasi akademis memang penting. Gelar
sarjana memang berharga. Tapi tanpa demokrasi, kami tidak butuh keduanya,”
tutur seorang pemimpin mahasiswa China yang sempat ditembus peluru dalam
Tragedi Tiananmen. Kata-kata itu, sering melahirkan inspirasi segar baginya.
Ya, Suyat telah memilih terlibat. Awalnya, ia tertarik pada
diskusi-diskusi di kampus. Berbeda dengan mahasiswa lainnya, ia amat antusias
berdiskusi, terlibat aksi, dan pun lumayan rakus melahap buku. Makin intens
main ke kantor SMID Solo dan sampai dini hari memuntahkan materi-materi yang
usai dibacanya.
Pada tahun 1995, ia terpilih sebagai pengurus SMID
Komisariat Unisri, lantas menjadi staf Departemen Organisasi SMID Solo. Saat
itu semangatnya tengah mencapai kulminasi. Aksi di berbagai kota jarang
dilewatkan. Empat kali ia tertangkap, pertama pada aksi Tandes Surabaya, aksi
buruh Sritex Solo, aksi loncat pagar Timor Leste di Jakarta Desember 1995, dan
terakhir pada aksi buruh Sindoll Jakarta 1997, dimana untuk terakhir kali pula
suaranya menggelegar dalam orasi.
Kampusnya sempat diobrak-abrik intel ketika meletus 27 Juli
1996. Kampungnya di pelosok Sragen pun tak luput dari intaian. Wajar, selain
menonjol untuk ukuran kampus dan kampungnya, catatan penangkapannya cukup
tinggi. Entah bagaiamana Suyat mempertahanakan kesegaran mental dan politik
dalam kengerian perburuan itu. Yang jelas, tak lebih dari setahun berikutnya ia
sudah muncul di forum-forum diskusi warga PDI Pro Mega di Banjarsari, Solo. Ia
aktif dalam pengorganisiran kelompok, membuat pendidikan politik, maupun muncul
di garis depan aksi-aksi yang kemudian marak di Solo. Ia makin menguat laksana
cadas.
Militansinya mengental berbaur dalam atmosfer Jakarta ketika
dipercaya menjadi pengurus pusat KNPD (Komite Nasional Perjuangan Demokrasi)
pada Agustus 1997. Kali pertama anak muda humoris itu menempa pengalaman di
ibukota. Bukan sesuatu yang gampang baginya yang cenderung lugu. Bagian
membekas di benaknya, tatkala pertama di Jakarta, ia nyaris digampar lantaran
berteriak keras saat menyaksikan sekawanan copet merogoh saku penumpang bis. Ia
berteriak, tapi justru gamparan copet yang dituainya. Justru orang-orang
mencapnya tolol. Sungguh, ia cukup gelisah manakala mengingatnya.
Sejarah tidak berhenti, kata Romo Mangun almarhum. Seperti
juga The End of History-nya Fukuyama. Segalanya terus bekerja kembali. Juga
Suyat. Mengorganisir. Tanpa lelah. Tak putus-putus. Sayangnya, militansi
semata, belumlah lengkap sebagai komponen kerja revolusioner. Menjelang Sidang
Umum, situasi politik menaik cepat. Rezim tampak kalap. Praktek-praktek bengis
penangkapan illegal bercuatan. Saat itulah para pimpinan Partai sudah bersiaga.
Memperediksi situasi ke depan yang tampaknya akan makin garang.
Anak muda berparas manis dan doyan mengotak-atik elektronik
itu tak tangguh menggenggam disiplin. Gelisah akan pacar atau keluarga kerap
mengganggunya. Dan, ia nekad kembali ke Solo, tepat ketika represi rezim sampai
pada titik didih.
12 Februari, seorang kawan di Solo tengah menyiapkan tempat
evakuasi baginya. Sayang sekali, rezim bergerak 100 kali lebih cepat. Saudara
kandungnya diseret untuk menunjukkan alamat kawan dekatnya. Dan kawan itupun
diculik dan disiksa sebelum menyebut sebuah alamat. “5 orang intel menerobos masuk, sementara pasukan lain berjaga di luar.
Kami hanya bisa gemetar, kaki serasa tak menapak di tanah. Aku katakana Suyat
tak di rumah. Mereka menahan Suyatno yang mirip Suyat, dipaksa naik Kijang dan
dibawa ke suatu tempat untuk diinterogasi tentang keberadaan adiknya. Mereka
mengancam akan membawa satu persatu keluarga.” Kenang Pak Paimin akan malam
yang mengenaskan itu.
Lantas, berakhir di situ. Tak satupun kawan mendengar
kabarnya, menangkap humor segarnya. Pun oleh kawan-kawan sesame korban
penculikan di Cijantung itu.
Sekali berarti sudah
itu mati, teriak penyair bohemian Chairil Anwar. Ya, selalu ada jejak yang
ditinggalkan. Keberanian, keteguhan, militansi, masih tertancap di benak semua kawan
acap mengingatnya.
Tak mudah dilupa. Belum selesai kita membuat perhitungan
dengan rezim bengis tak berhati ini. Suyat atau mereka tidak kembali,
barangkali telah mati. Sungguh, tak boleh kita terdiam, tanpa pernah bertanya
siapa yang berhak menghentikan usia manusia? Kita yang harus membuat kesaksian!
(lhs)***
Sumber: Pembebasan Edisi 21/Tahun I/November 2000
Posted by Admin
Kumpulan Puisi Wiji Thukul Terlengkap, Updated at: 11.17
0 comments:
Posting Komentar