“Saya memiliki sebuah impian. Saya akan terus bekerja dan
mewujudkannya sepanjang hidup saya. Kendati harus mati untuknya…”
--Dr. Martin Luther King, sebelum ditembak mati—
Maret 1996, Surabaya makin disesaki panasnya peristiwa
politik. Pandegiling, sebuah nama jalan di Surabaya, menjadi pusat berkumpulnya
simpatisan PDI Pro Megawati sekaligus para aktivis mahasiswa dan buruh.
Orasi-orasi politik digelar sepanjang hari. Herman Hendrawan berdiri di
tengahnya, menjadi salah satu sosok yang selalu ditunggu orasinya. Tanyalah
pada mereka, pasti dengan fasih mereka akan bertutur tentang Herman.
Lahir 19 Mei 1972 di Pangkal Pinang, ayahnya, H. Hamali
Sahir, mendidik Herman dengan disiplin keras; terutama pendidikan agama.
Politik telah menggugah minatnya sejak kecil, dan menemukan muara ketika kuliah
di Fisip Unair pada tahun 1990. Di awal pencariannya, semua aktivitas
dilibatinya. Mulai Paduan Suara, Senat, HMI, FKMS. Ia sempat pula mendirikan
LSM Surabaya Forum pada 1994. Namanya makin berkibar ketika berhasil
mengorganisir aksi besar advokasi pemecatan mahasiswa di Unair.
Pergumulan dengan teori-teori kiri, yang diakui makin
mengasah cara berpikirnya, diperoleh ketika intens terlibat dalam diskusi
Kelompok Belajar Mentari (KBM) dan Komite Mahasiswa Universitas Airlangga
(KMUA) yang lalu menjadi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID)
cabang Surabaya. Pengorganisiran rakyat, panduan teori dan pengalaman direpresi
–kepalanya pernah bocor dipopor senapan
di aksi buruh di Solo tahun 1995, dan beberapa kali tertangkap—mengentalkan
keyakinannya: hanya perjuangan massalah yang
akan menghantarkan rakyat pada pintu pembebasannya.
Herman bukanlah peragu. Wajahnya selalu tegak. Tak jarang
orang menilainya angkuh. Kemampuan retorika yang baik, kepiawaian menjelaskan
program partai secara detil adalah kelebihannya. Tegas, disiplin dan
optimismenya terpancar kuat. Ia sanggup meladeni diskusi panjang sampai pagi
hari. Ia juga memiliki kemampuan membangun relasi yang baik dengan semua
kalangan, sangat mendukungnya sebagai ketua Caretaker PRD Jawa Timur, termasuk
berhasil melibatkan solidaritas PDI Mega dan mahasiswa dalam aksi buruh Tandes
tahun 1996. Ia juga memelopori lahirnya mimbar-mimbar bebas dan pendidikan politik
di tiap basis PDI di Jatim.
Sesuatu yang menyebalkan adalah salah satu adat joroknya:
malas mencuci baju. Pernah suatu hari, ia harus menatap nanar ketika 8 potong
bajunya menjadi arang. Kawan-kawan membakarnya lantaran lama tergantung di
kamar dan jadi sarang nyamuk. Berkali ia menuai caci maki karena kerap lupa
mencuci gelas bekas kopi. Di luar itu, sebagai pribadi, ia sangat care terhadap persoalan kawan. Ia juga
pernah sedih ketika putus dengan kekasihnya atau ketika berkali-kali harus
menolak orang tuanya yang mengharapnya pulang: “ Herman nggak bisa pulang karena masih banyak agenda. Herman sudah
memilih untuk hidup di gerakan. Negara ini butuh putra-putrinya untuk
menyelematkannya dari krisis ekonomi-politik yang parah. Herman siap menjadi
barisan pelopor guna mendorong bangsa ini seperti yang dicita-citakan. Maaf
kalau mengecewakan harapan ayah dan ibu. Herman minta keluarga di rumah
memaklumi pilihan hidup Herman…” (Surabaya, Maret 1996).
Kekuasan memang laksana jagal: garang dan mengerikan. 28 Juli
1996, Herman masih terlihat gagah memimpin aksi yang makin memanas di Surabaya.
Lantas datang instruksi untuk berangkat ke Jakarta. PRD dalam kondisi genting,
sejumlah pimpinannya ditangkap, beberapa kadernya diburu. Sebuah tugas berat,
mensolidkan partai yang terberai dan harus bergerak di bawah tanah. Saling
membantu dan mengingatkan, itu pesan Budiman Sudjatmiko dari penjara,s elain
instruksi untuk membangun sebanyak mungkin komite aksi di luar PRD. Pertengahan
1997, berdiri KNPD (Komite Nasional Perjuangan
Demokrasi). Herman terpilih sebagai divisi kerjasama.
Menjelang SU MPR, kembali situasi politik melesakkan hawa
panas. Rakyat mulai menghambur ke jalan-jalan. Rezim pun kalang-kabut
membentengi diri. Maret tanggal 12, 1998, Herman hilang, bersamaan dengan Reza
dan Jati usai konferensi pers KNPD di YLBHI. Seseorang melihatnya terakhir kali
di depan Megaria. Ia tak menghubungi dan merespon pesan-pesan via pagernya.
Sehari sebelumnya ia sempat bicara keras dalam wawancara dengan radio BBC, dan
beberapa minggu terakhir ia mengungkapkan was-wasnya lantaran merasa dibuntuti
dan kerap kali diteror. Berkali-kali ia ingatkan sejumlah kawan untuk waspada
penuh. Toh, dia sendiri yang menjadi korban.
Tak pernah ada yang mengaku. Tak pernah ada penjelasan dan tindakan
resmi dari yang menyekap dan meremukkan raga dan cita-cita anak muda pemberani
ini. Padahal, Andi Arief, yang diculik setelahnya menyatakan melihat Herman
ketika disekap di Cijantung. Jati, selama beberapa hari juga mendengar teriakan
Herman, tatkala disiksa atau saat malam-malam menyanyikan “Widuri” dengan keras. Hari-hari berikutnya suara itu tak lagi
terdengar.
Sampai sekarang, ia tak pernah kembali. Ibundanya harus
berkali menyeka airmata, seperti diingatkan pada kata-kata putra bungsunya ketika
pulang, November 1997, “Herman harus
balik ke Jakarta. Masih banyak tugas yang harus diselesaikan. Ibu jangan
berpikir macam-macam, anak ibu kan masih lima selain Herman”. Kata-kata itu
masih terekam dengan jelas.
Apa boleh buat. Zaman memang tak lagi pagi. Rezim berkeras
membungkus setiap kebusukan dengan segala dalih. “Menunggu Godot” karya besar
Samuel Beckett, pemenang Nobel Sastra tahun 1969 yang diilhami kekejaman Nazi
kala itu. Periode penuh represi dan serba tidak pasti yang dihadapi oleh Vladimir
dan Estragon di lakon tersebut, persis seperti yang kita alami sekarang ini.
Herman Hendrawan. Masih berjuta cita-cita terpendam di
benaknya. Rezim tak pernah merasai apa arti seorang Herman dalam sebuah
pergulatan anak bangsa menepis penindasan ini. Barangkali di hadapan yang lain,
dia juga mereka yang belum kembali, bukanlah siapa-siapa. Bukanlah tokoh besar
harum yang layak disambut bunga. Tapi,b agi PRD, yang hidup dan besar bersamanya,
merekalah kader terbaik. Ketika pengorbanan bukan sekedar lipstik. Ketika
keyakinan dan cita-cita mereka peluk erat sampai akhir hayat. Merekalah juara
hidup yang sesungguhnya. Kepada mereka, pantas kita tundukkan kepala! (lhs)
Sumber: Pembebasan Edisi 20/Thn. V/Oktober 2000
Posted by Admin
Kumpulan Puisi Wiji Thukul Terlengkap, Updated at: 11.23
0 comments:
Posting Komentar